Uang Bukanlah Segalanya?
Ada
yang mengatakan bahwa uang bukanlah segala-galanya, akan tetapi banyak dari
segala-galanya di jaman sekarang ini yang butuh uang. Biaya hidup yang semakin
mahal, biaya pendidikan yang akan naik gila-gilaan bisa mencapai Rp 1,5 miliar
sampai Rp 4,5 miliar (hanya untuk biaya kuliah aja lhooo), dan biaya pensiun
yang juga tidak kalah banyaknya (30 tahun lagi butuh antara Rp 15 miliar sampai
Rp 60 miliar tergantung gaya hidup dan biaya hidup).
Yeees,
di zaman yang maju sekarang, tidak bisa dipungkiri dan dielakan, sepertinya
banyak yang memang bisa diselesaikan dengan uang. Meskipun banyak juga yang
katanya tidak bisa dibeli oleh uang.
Akibatnya,
semakin banyak juga manusia yang seperti “mendewakan” uang. Munculah
“penyakit-penyakit” baru yang berhubungan dengan uang, antara lain Shopaholic alias
“penyakit” gila belanja.
Ternyata
banyak dari hal-hal yang terjadi di dalam kehidupan kita dikarenakan sudut
pandang baik dan buruk tentang uang.
Nah,
ketika saya menyebut kata tersebut, apa yang kemudian ada di dalam pikiran
anda? Jawabannya tentu berbeda-beda tergantung persepsi dari setiap orang yang
berbeda. Banyak orang yang berpikiran tentang uang adalah mau kaya, senang,
bahagia, bisa beli apapun yang diinginkan, dan lain-lain.
Tapi
tidak sedikit juga orang yang berpikir bahwa uang itu sumber bencana,
perpecahan keluarga, bikin repot, tabu dan hal negatif lainnya yang berhubungan
dengan uang.
Seperti banyak hal lainnya, selalu ada 2 sisi mata uang dalam hal menilai sesuatu, termasuk masalah uang ini. Kembali yang paling penting adalah bagaimana kita melihat uang itu untuk menjadikan hal yang positif di dalam kehidupan kita dan berguna bagi orang lain. Pengalaman-pengalaman masa lalu lah yang kemudian membentuk persepsi kita tentang uang.
Seperti banyak hal lainnya, selalu ada 2 sisi mata uang dalam hal menilai sesuatu, termasuk masalah uang ini. Kembali yang paling penting adalah bagaimana kita melihat uang itu untuk menjadikan hal yang positif di dalam kehidupan kita dan berguna bagi orang lain. Pengalaman-pengalaman masa lalu lah yang kemudian membentuk persepsi kita tentang uang.
Sebagai
contoh, apabila kita di waktu kecil anda sering melihat orang tua kita ribut
membicarakan masalah uang, maka bisa jadi terbentuk persepsi bahwa uang itu
adalah hal yang jahat dan membuat orang ribut. Sehingga memiliki uang bukanlah
suatu hal yang baik bagi diri anda.
Atau
berapa banyak dari kita yang ketika kecil tidak diberikan uang jajan atau
diberi uang jajan harian tanpa diberikan arahan bagaimana cara
mempergunakannya. Persepsi dan mental yang kemudian dapat terbentuk adalah,
anda bisa menggunakan dan menghabiskan uang tersebut setelah diberi, karena
besok akan ada uang jajan lagi untuk dihabiskan.
Itulah
sebabnya tidak heran kalau kemudian banyak dari masyarakat Indonesia yang masuk
ke dalam kategori konsumtif. Memang tidak semua orang akan mendapatkan dampak
yang sama, akan tetapi risiko hal tersebut terjadi bisa saja di diri kita atau
di diri orang-orang yang kita sayangi. Itulah pentingnya untuk mulai belajar
tentang keuangan sedini mungkin baik secara sadar (concious) maupun melalui
alam bawah sadar (subconcious) agar kita mempunyai persepsi yang positif dan
produktif dengan kehidupan dan keuangan kita di masa sekarang dan masa depan.